UPAYA PAKSA
A. Penangkapan
Kewenagan yang diberikan Undang-undang kepada penyidik sedemikian luasnya, penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang, asal hal itu masih berpijak pada landasan hukum. Wewenang penguranga kebebasan dan hak asasi seseorang harus dihubungakan dengan landasan prinsip hukum yang menjamin terpeliharanya harkat martabat kemanusiaan seseorang serta tetap berpedoman pada landasan orientasi keseimbangan antara perlindungan kepentingan tersangka pada satu pihak, dan kepentingan masyarakat serta penegakan ketertiban hokum pada pihak lain.
Pada pasal 1 (20) dijelaskan, bahwa” penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebsan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang[1]”. Dari pasal tersebut penangkapan tidak lain hanyalah pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka/ terdakwa, guna kepentingan penyidikan atau penuntutan. Akan tetapi harus dilakukan menurut ketentuan UU.[2]
Mengenai batas waktu penangkapan ada pada pasal 19 (1) telah ditentukan bahwa penagkapan tidak boleh lebih dari “satu hari”, apabila lebih dari satu hari berarti telah terjadi pelanggaran hokum dan dengan sendirinya penagkapan dianggap tidak sah.
Mengenai pembatasan wktu yang singkat ini, dapat menimbulkan kesulitan dan permasalahan dalam prakteknya, disebabkan factor georafi dan komunikasi. Untuk mengatasi hambatan permasalahan ini, agar penangkapan mempunyai arti untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, tapi sekaligus tidak melanggar hokum, dapat disetujui alternatif yang digariskan pada buku pedoman pelaksana KUHAP yang member jalan keluar atas hambatan tersebut:
Ø Penangkapan supaya dilaksanakan sendiri atau dipimpin oleh penyidik, sehingga segera dapat dilakukan pemeriksaan di tempat terdekat;
Ø Apabila penagkapan dilakukan oleh penyilidik, pejabat penyidik mengeluarkan surat perinta kepada penyilidik untuk membawa dan menghadapkan orang yang ditangkap kepada penyidik.
Sementara itu mngenai alasan penangkapan bias kita temukan dalam pasal 17 KUHAP “ perintah penagkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup” bukti yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 14. Pasal ini menunjukan bahwa perintah penagkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul melakukan tindak pidana.[3]
Namun tidak semua tindak pidana bias dilakukan penangkapan, menurut pasal 19 (2), tidak dibolehkan melakukan penangkapan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana pelanggaran. Maka prinsip hokum telah melarang untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana pelanggaranan. Tentu terhadap prinsip hokum ini ada pengecualian, yaitu apabila telah dilakuakn dua kali pemanggilan berturut-turut secara resmi namun tidak dipenuhi panggilan tersebut tanpa alas an yang jelas. Dalam kasus ini tersangka dapat ditangkap atau dibawa ke kantor polisi dengan paksa untuk melakukan pemeriksaan.[4]
B. Penahanan
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 1 (21) penahan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU ini.
Tujuan penahanan disebutkan dalam pasal 20, yang menyatakan penahan untuk kepentingan penyelidik, penyidikatau pnyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan. Penahan yang dilakukan oleh penuntut umum bertujuan untuk kepentingan penuntutan dan penahan yang dilakukan oleh peradilan untuk kepentingan pemeriksaan di siding pengadilan.
1. Dasar penahanan
Ø Landasan dasar, yaitu yang terdapat dalam pasal 282 (3), 296, 335 (1), 353 (1), 372, 378, 379 a, 453, 454, 455, 459, 480, dan 506 KUHP, serta pasal-pasal lain dari ketentuan pidana khusus;
Ø Landasan unsur kekhawatiran, yaitu kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau kekhawatiran akan mengulangi tindak pidana
Ø Dipenuhinya syarat pasal 21 (1), yaitu tersangka/ terdakwa diduga keras sebagai pelku tindak pidana yang bersangkutan, dan dugaan keras itu didasarkan pada bukti yang cukup.
2. Tata cara penahanan
a. Dengan surat perintah penahan atau surat penetapan
Dalam ketentuan ini terdapat perbedaan sebutan, kalau untuk penyidik dan penuntut umum melakukan penahan dengan surat perintah penahanan, semntara apabila yang melakukan penahan adalah hakim perintah penahana berbentuk suran penetapan. Surat tersebut harus memuat hal: identitas tersangka/ terdakwa, menyebut alasan penahanan, dan uraian singkat kejahatan yang disangkakan atau yang didakwakan.
b. Tembusan harus diberikan kepada keluarga
Pemberian tembusan surat perintah penahanan maupun penetapan penahanan wajib disampaikan kepada keluarga tersangka/terdakwa.
3. Jenis tahanan
a. Penahanan rumah tahanan Negara (RUTAN)
b. Tahanan rumah
c. Penahan kota
4. Batas wktu penahanan
a. Pembatasan penahan secara umum
Ø Batas kewenangan penyidik adalah 20 hari dan apabila diperlukan untuk penyidikan boleh bitambah paling lama 40 hari= 60 hari. (pasal 24)
Ø Batas kewenangan penuntut umum adalah 20, dan boleh meminta diperpanjang kepada ketua pengadilan negeri, kalau di izinkan paling lama 30 hari = 50 hari. (pasal 25)
Ø Batas kewennangan hakim:
1). Hakim pengadilan negeri kewenanganya adalah 30 hari, apabila diperlukan lagi untuk kepentingan pemeriksaan boleh diperpanjang paling lama 60 hari= 90 hari.(pasal 26)
2). Hakim pengadilan tinggi sama dengan kewenangan hakim pengadilan negeri. (pasal 27)
3). Hakim Agung kewenangannya adalah 50 hari dan apabila diperlukan lagi boleh diperpanjang paling lama 60 hari= 110 hari. (pasal 28)
b. Pengecualian pembatasan penahan
Pada pembatasan jangka waktu penahan, terdapat pasal pengecualian yang diatur dalap pasal 29. Demi kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan, karena:
Ø Tersangka/terdawa menderita gangguan fisik atau mental yang berat yang dibuktikan dengan keterangan dokter;
Ø Atau perkara yang diperiksa diancam dengan pidanan penjara Sembilan tahun atau lebih.
5. Hak tahanan selama berada dalam tahanan
a. Hak yang bersifat umum
Ø Berhak mendapat pemeriksaan yangsegera dari penyidik (pasal 50);
Ø Berhak mendapat bantuan hokum dari penasehat hokum (pasal 57 (1))
Ø Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadi untuk kepentingan kesehatan (pasal58);
Ø Berhak menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga (pasal 60)
b. Hak atas perawatan kesehatan ( bab II PERMEN kehakiman no. M.04.UM.01.06/1983)
c. Hak atas perawatan rohani (pasal 13 dan 14 PERMEN kehakiman no. M.04.UM.01.06/1983)
Ø Fasilitas sarana pendidikan
Ø Fasilitas keagamaan
Ø Fasilitas sarana olahraga dan kesenian
d. Larangan wajib kerja (pasal 15 PERMEN kehakiman no. M.04.UM.01.06/1983)
e. Hak mendapat kunjungan (bab III PERMEN kehakiman no. M.04.UM.01.06/1983)
C. Pengeledahan
Apabila mendengar kata penggeledahan, di hadapan kita terbayang suasana ada seorang atau beberapa petugas mendatangi tempat atau rumah kediaman atau beberapa orang petugas mendatangi dan menyruh berdiri seseorang. Lantas petugas memeriksa segala sudut rumah atau skujur tubuh orang yang digeledah. Tujuannya untuk mencari dan mendapatkan sesuatu yang ada kaitannya degan peristiwa pidana yang disidik.
Ditinjau dari segi UU dalam pasal 1 (17), pengeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan/atau penyitaan dan/atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU. Sedangankan dalam pasal 1 (18) yang berbunyi, pengeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan/atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badan atau dibawanya serta, untuk disita.
Unruk kepentingan penyidikan, penyidik dapat dapat melakukan pengeldahan rumah atau mengeledahan pakaian atau pengeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam UU ini.(pasal 32)
Wewenang mengadakan pengeledahan rumah diatur dalam pasal 33 KUHAP, sebagai berikut:
1. “Surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan pengeladahan rumah yang diperlukan”.
2. “Dalam hal yang diperlukan atas perintah pertulis dari penyidik, petugas kepolisiannegara RI dapat memasuki rumah” jika yang malakukan pengeledahan itu bukan penyidik sendiri maka petugas kepolisian lainnya harus dapat menunjukan surat izin ketua pengadilan negeri dan surat perintah tertulis dari penyidik.
3. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksidalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya
4. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
5. Dalam waktu dua hari setelah mamasuki dan atau mengeledah rumah harus dibuat suatu berita acara dan turunanya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rum,ah yang bersangkutan.
Selanjutnya menurut pasal 34 menyatakan dalam keadaan mendesak kalau penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untukmendapatkan surat izin terlbih dahulu, penyidik dapat malkukan mngeledahan:
1. Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya
2. Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada
3. Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya
4. Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
Pada waktu menangkap tersangka, penyidik hanya berwenang mengeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita. Pada wktu penangkapan tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang mengeledah pakaian atau mengeladah badan tersangka.
Pengeledahan badan meliputi pemeriksaan rongga badan, yang wanita dilakukan oleh pejabat wanita, dalam hal penyidik barpendapat perlu dilakukan pemeriksaan rongga badan, penyidik minta bantuan kepada pejabat kesehatan. (pasal 37)
D. Penyitaan Barang Bukti
Sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 1 (16), penyitaan adalah serangkaian tidakan penyidikan untuk mengambil alih dan/atau menympan di bwah penguasaannyabenda bergerak atau tidak bergerak. Berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalm penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Yang berwenang melakukan penytaan adalah penyidik, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 38, karean penyitaan adalah tindakan hokum yang dilakukan di taraf penyidikan. Sesudah lewat dari taraf penyidikan tidak dapat lagi dilakukan penyitaan dan atas nama penyidik.
1. Bentuk dan tatcara penyitaan
a. Penyitaan biasa dan tata caranya
Ø Harus ada surat izin penyitaan dari ketua pengadilan negeri (pasal 38 [1])
Ø Memperlihatkan dan menunjukan tanda pengenal (pasal 128)
Ø Memperlihatkan benda yang akan disita (pasal 129)
Ø Penyitaan dan memperlihatkan benda sitaan harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi (pasal 129 [1])
Ø Membuat berita acara penyitaan (pasal 129 [2])
Ø Menyampaikan turunan berita acara penyitaan kepada atasannya dan kepada keluarga pihak dimana barang itu disita serta kepada kepala desa. (pasal 129 [4])
Ø Membungkus benda sitaan (pasal 130 [1]), seandainya barang sitaan tidak memungkinkan untuk dibungkus, maka harus dibuat catatan atau data tentang barang sitaan, kemudian catatan itu ditulis di atas label yang ditempelkan dan dikaikan pada barang sitaan. (pasal 130 [2])
b. Penyitaan dalam keadaan perlu dan mendesak
Sebagai pengecualian penyitaan biasa berdasarkan aturan di atas, pasal 38 [2] memberi kemungkinan melakukan penyitaan tanpa melalui tata cara yang ditentukan oleh pasal 38 [1]. Hal ini diperlukan untuk memberi kelonggaran kepada penyidik bertindak cepat sesuai dengan keadaan yang diperlukan. Dan mengenai tata cara penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak adalah:
Ø Tanpa surat izin dari pengadilan negeri
Ø Hanya terbatas atas benda yang bergerak saja
Ø Wajib segera melaporkan guna mendapat persetujuan.
2. Benda yang dapat disita
Benda yang dapat disita hanyalah benda yang berkaitan dengan peristiwa tindak pidana, jika benda yang disita tidak ada kaitannya dengan peristiwa tindak pidana yang sedang diperiksa, dianggap merupakan penyitaan yang bertentangan dengan hukum. Lebih jelasnya mengenai benda yang dapat disita dijelsakan dalam pasal 39.
3. Penyimpanan barang sitaan
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 44, benda sitaan disimpan dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (RUPBASAN). Rupbasan adalan satu-satunya tempat penyimpanan segala macam jenis benda sitaan. Secara struktural dan fungsional, berada dibawah lingkungan Kementerian kehakiman yang akan menjadi pusat penyimpanan barang sitaan dari seluruh instansi.
4. Penjualan lelang barang sitaan
Yang dimaksud dengan penjualan lelang disini tidak sama dengan penjualan lelang ditaraf eksekusi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, namun hal ini apabila pejabat yang bersagkutan dihadapkan pada suatu keadaan yang extra ordinary, maka dalam ruang lingkup ini pasal 45 memberi kemungkinan kepada pejabat yang bersangkutan untuk menjual benda sitaan, namun dengan syarat:
Ø Apabila benda sitaan terdiri dari benda yang mudah rusak atau busuk;
Ø Apabila benda sitaan tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum yang tetap;
Ø Jika biaya penyimpanan benda menjadi terlalu tinggi.
Kemudian hasil dari penjualan lelang benda tersebut kembali diletakan atau disimpan di Rupbasan.
5. Pengembalian barang sitaan
Kecuali mengenai benda yang sifatnya terlarang atau dilarang mengedarkan, pada prinsipnya benda sitaan harus dikembalikan kepada orang dari siapa benda itu disita atau kepada siapa yang paling berhak. Bertitik tolak dari pasal 46, pengembalian benda sitaan harus dikembalikan sesegera mungkin kepada yang palingh berhak:
Ø Apabila secara nyata dan objektif pemeriksaan penyidikan tidak memerlukan lagi;
Ø Atau apabila perkara tersebut tidak dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tinda pidana;
Ø Perkara tersebut dikesampingkan/dideponer untuk kepentingan umum;
Ø Atau perkara tersebut ditutup demi hukum, karena alasan debin in idem atau tersangka/terdakwa meninggal dunia atau karena tuntutan terhadap terhadap tindak pidana sudah kadaluarsa.
E. Tertanglap Tangan
Dalam hal tersangka tertangkap tangan, sesuai Pasal 1 angka 19 (“KUHAP”) yang berbunyi :“Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”.
Keistimewaan Tertangkap Tangan
Dalam hal penangkapan keistimewaan tertangkap tangan dapat kita temukan dalam pasal 18 (2), yang menyatakan bahwa, “dalam hat tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkapanharus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.”
Selanjutkan dalam ayat 3 “Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.”
Selanjutnya dalam hal pengeledahan keistimewaan tertangkap tangan dapat kita temukan dalam pasal 35, namun sebelum melihat ke pasal 35 kita harus melihat ke pasal 34 terlibih dahulu, sebagaimana yang telah di uraikan terdahula, bahwa dalam keadaan mendesak kalau penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlbih dahulu, penyidik dapat malkukan mngeledahan:
1. Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya
2. Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada
3. Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya
4. Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
Dan selanjutnya dalam pasal 35 mengatakan “ kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki:
a. Ruang di mana sedang berlangsung didang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan perwakilan atau Dewan Perwakilan Daerah;
b. Tempat di mana sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan;
c. Ruang dimana sedang berlansung sidang pengadilan.”
Selanjutnya dalam hal penyitaan keistimewaan tertangkap tangan dapat kita temukan dalam pasal 40 “dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti”
dan pasal 41 “dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dlakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukan bagi tersangka atau yang berasal dari padnya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerima”
KESIMPULAN
Setelah dilakuka penyelidikan dan mengetahui adanya unsur tindak pidana, maka tuga selanjutnya diserahkan kepada penyidik untuk mengumpulkan barang bukti dan melakukan pemeriksaan.
Untuk membantu kelancaran pemeriksaan tersebut, maka penyidik diberi kewenangan untuk malakukan penangkapan, penahanan, pengeledahan termasuk menyita barang atau benda yang berkaitan dengan tindak pidana yang diperiksa. Untuk itu UU no. 8 tahun 1981 atau yang lebih dikenal dengan singkatan KUHAP, mengatur mengenai tata cara dan prosedur yang harus diikuti oleh penyidik dalam melaksanakan tugasnya. Namun dalam beberapa hal KUHAP memberi beberapa keistimewaan kepada kasus tertangkap tangan, sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas.
[1] KUHP dan KUHAP, (Surabaya, Kesindo Utama:2010), cet ke-5, h.189
[2] Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penjelasan KUHAP, (Jakarta, Sianr Grafika: 2007), cet ke-9, edisi k-2, h.157
[3]C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, balai pustaka: 1989) cet ke-8, h.358-359
[4] Yahya Harahap, op-cit, h. 161
Tidak ada komentar:
Posting Komentar