Sabtu, 23 Mei 2015

SEKILAS UPAYA PAKSA DALAM KUHAP

UPAYA PAKSA
                                                                        A.    Penangkapan
Kewenagan yang diberikan Undang-undang  kepada penyidik sedemikian luasnya, penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang, asal hal itu masih berpijak pada landasan hukum. Wewenang penguranga kebebasan dan hak asasi seseorang harus dihubungakan dengan landasan prinsip hukum  yang menjamin terpeliharanya harkat martabat kemanusiaan seseorang serta tetap berpedoman pada landasan orientasi keseimbangan antara perlindungan kepentingan tersangka pada satu pihak, dan kepentingan masyarakat serta penegakan ketertiban hokum pada pihak lain.
Pada pasal 1 (20) dijelaskan, bahwa” penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebsan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang[1]”. Dari pasal tersebut penangkapan tidak lain hanyalah pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka/ terdakwa, guna kepentingan penyidikan atau penuntutan. Akan tetapi harus dilakukan menurut ketentuan UU.[2]
Mengenai batas waktu penangkapan ada pada pasal 19 (1) telah ditentukan bahwa penagkapan tidak boleh lebih dari “satu hari”, apabila lebih dari satu hari  berarti telah terjadi pelanggaran hokum dan dengan sendirinya penagkapan dianggap tidak sah.
Mengenai pembatasan wktu yang singkat ini, dapat menimbulkan kesulitan dan permasalahan dalam prakteknya, disebabkan factor georafi dan komunikasi. Untuk mengatasi hambatan permasalahan ini, agar penangkapan mempunyai arti untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, tapi sekaligus tidak melanggar hokum, dapat disetujui alternatif yang digariskan pada buku pedoman pelaksana KUHAP yang member jalan keluar atas hambatan tersebut:
Ø  Penangkapan supaya dilaksanakan sendiri atau dipimpin oleh penyidik, sehingga segera dapat dilakukan pemeriksaan di tempat terdekat;
Ø  Apabila penagkapan dilakukan oleh penyilidik, pejabat penyidik mengeluarkan surat perinta kepada penyilidik  untuk membawa dan menghadapkan orang yang ditangkap kepada penyidik.
Sementara itu mngenai alasan penangkapan bias kita temukan dalam pasal 17 KUHAP “ perintah penagkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”  bukti yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 14. Pasal ini menunjukan bahwa perintah penagkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul melakukan tindak pidana.[3]
Namun tidak semua tindak pidana bias dilakukan penangkapan, menurut pasal 19 (2), tidak dibolehkan melakukan penangkapan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana pelanggaran. Maka prinsip  hokum telah melarang untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana pelanggaranan.  Tentu terhadap prinsip hokum ini ada pengecualian, yaitu apabila telah dilakuakn dua kali pemanggilan berturut-turut secara resmi namun tidak dipenuhi panggilan tersebut tanpa alas an yang jelas. Dalam kasus ini tersangka dapat ditangkap atau dibawa ke kantor polisi dengan paksa untuk melakukan pemeriksaan.[4]

B.     Penahanan
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 1 (21) penahan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU ini.
Tujuan penahanan disebutkan dalam pasal 20, yang menyatakan penahan untuk kepentingan penyelidik, penyidikatau pnyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan.  Penahan yang dilakukan oleh penuntut umum bertujuan untuk kepentingan penuntutan dan penahan yang dilakukan oleh peradilan untuk kepentingan pemeriksaan di siding pengadilan.
1.      Dasar penahanan
Ø  Landasan dasar, yaitu yang terdapat dalam pasal 282 (3), 296, 335 (1), 353 (1), 372, 378, 379 a, 453, 454, 455, 459, 480, dan 506 KUHP, serta pasal-pasal lain dari ketentuan pidana khusus;
Ø  Landasan unsur kekhawatiran, yaitu kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau kekhawatiran akan mengulangi tindak pidana
Ø  Dipenuhinya syarat pasal 21 (1),  yaitu tersangka/ terdakwa diduga keras sebagai pelku tindak pidana yang bersangkutan, dan dugaan keras itu didasarkan pada bukti yang cukup.
2.      Tata cara penahanan
a.       Dengan surat perintah penahan atau surat penetapan
Dalam ketentuan ini terdapat perbedaan sebutan, kalau untuk penyidik dan penuntut umum melakukan penahan dengan surat perintah penahanan, semntara apabila yang melakukan penahan adalah hakim perintah penahana berbentuk suran penetapan. Surat tersebut harus memuat hal: identitas tersangka/ terdakwa, menyebut alasan penahanan, dan uraian singkat kejahatan yang disangkakan atau yang didakwakan.
b.      Tembusan harus diberikan kepada keluarga
Pemberian tembusan surat perintah penahanan maupun penetapan penahanan wajib disampaikan kepada keluarga tersangka/terdakwa.
3.      Jenis tahanan
a.       Penahanan rumah tahanan Negara (RUTAN)
b.      Tahanan rumah
c.       Penahan kota
4.      Batas wktu penahanan
a.       Pembatasan penahan secara umum
Ø  Batas kewenangan penyidik adalah 20 hari dan apabila diperlukan untuk penyidikan boleh bitambah paling lama 40 hari= 60 hari. (pasal 24)
Ø  Batas kewenangan penuntut umum adalah 20, dan boleh meminta  diperpanjang kepada ketua pengadilan negeri, kalau di izinkan paling lama 30 hari = 50 hari. (pasal 25)
Ø  Batas kewennangan hakim:
1). Hakim pengadilan negeri kewenanganya adalah 30 hari, apabila diperlukan lagi untuk kepentingan pemeriksaan boleh diperpanjang paling lama 60 hari= 90 hari.(pasal 26)
2). Hakim pengadilan tinggi  sama dengan kewenangan hakim pengadilan negeri. (pasal 27)
3). Hakim Agung kewenangannya adalah 50 hari  dan apabila diperlukan lagi boleh diperpanjang paling lama 60 hari= 110 hari. (pasal 28)
b.      Pengecualian pembatasan penahan
Pada pembatasan jangka waktu penahan, terdapat pasal pengecualian yang diatur dalap pasal 29. Demi kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan, karena:
Ø  Tersangka/terdawa menderita gangguan fisik atau mental yang berat yang dibuktikan dengan keterangan dokter;
Ø  Atau perkara yang diperiksa diancam dengan pidanan penjara Sembilan tahun atau lebih.
5.      Hak tahanan selama berada dalam tahanan
a.       Hak yang bersifat umum
Ø  Berhak mendapat pemeriksaan yangsegera dari penyidik (pasal 50);
Ø  Berhak mendapat bantuan hokum dari penasehat hokum (pasal 57 (1))
Ø  Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadi untuk kepentingan kesehatan (pasal58);
Ø  Berhak menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga (pasal 60)
b.      Hak atas perawatan kesehatan ( bab II PERMEN kehakiman no. M.04.UM.01.06/1983)
c.       Hak atas perawatan rohani (pasal 13 dan 14 PERMEN kehakiman no. M.04.UM.01.06/1983)
Ø  Fasilitas sarana pendidikan
Ø  Fasilitas keagamaan
Ø  Fasilitas sarana olahraga dan kesenian
d.      Larangan wajib kerja (pasal 15 PERMEN kehakiman no. M.04.UM.01.06/1983)
e.       Hak mendapat kunjungan (bab III PERMEN kehakiman no. M.04.UM.01.06/1983)

C.    Pengeledahan
Apabila mendengar kata penggeledahan, di hadapan kita terbayang suasana ada seorang atau beberapa petugas mendatangi tempat atau rumah kediaman atau beberapa orang petugas mendatangi dan menyruh berdiri seseorang. Lantas petugas memeriksa segala sudut rumah atau skujur tubuh orang yang digeledah. Tujuannya untuk  mencari dan mendapatkan sesuatu yang ada kaitannya degan peristiwa pidana yang disidik.
Ditinjau dari segi UU dalam pasal 1 (17), pengeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan/atau penyitaan dan/atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU. Sedangankan dalam pasal 1 (18) yang berbunyi, pengeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan/atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badan atau dibawanya serta, untuk disita.
Unruk kepentingan penyidikan, penyidik dapat dapat melakukan pengeldahan rumah atau mengeledahan pakaian atau pengeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam UU ini.(pasal 32)
Wewenang mengadakan pengeledahan rumah diatur dalam pasal 33 KUHAP, sebagai berikut:
1.      “Surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan pengeladahan rumah yang diperlukan”.
2.      “Dalam hal yang diperlukan atas perintah pertulis dari penyidik, petugas kepolisiannegara RI dapat memasuki rumah” jika yang malakukan pengeledahan itu bukan penyidik sendiri maka petugas kepolisian lainnya harus dapat menunjukan surat izin ketua pengadilan negeri dan surat perintah tertulis dari penyidik.
3.      Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksidalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya
4.      Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
5.      Dalam waktu dua hari setelah mamasuki dan atau mengeledah rumah harus dibuat suatu berita acara dan turunanya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rum,ah yang bersangkutan.
Selanjutnya menurut pasal 34 menyatakan dalam keadaan mendesak kalau penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untukmendapatkan surat izin terlbih dahulu, penyidik dapat malkukan mngeledahan:
1.      Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya
2.      Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada
3.      Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya
4.      Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
Pada waktu menangkap tersangka, penyidik hanya berwenang mengeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita. Pada wktu penangkapan tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang mengeledah pakaian atau mengeladah badan tersangka.
Pengeledahan badan meliputi pemeriksaan rongga badan, yang wanita dilakukan oleh pejabat wanita, dalam hal penyidik barpendapat perlu dilakukan pemeriksaan rongga badan, penyidik minta bantuan kepada pejabat kesehatan. (pasal 37)

D.    Penyitaan Barang Bukti
Sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 1 (16), penyitaan adalah serangkaian tidakan penyidikan untuk mengambil alih dan/atau menympan di bwah penguasaannyabenda bergerak atau tidak bergerak. Berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalm penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Yang berwenang melakukan penytaan adalah penyidik, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 38, karean penyitaan adalah tindakan hokum yang dilakukan di taraf penyidikan. Sesudah lewat dari taraf penyidikan tidak dapat lagi dilakukan penyitaan dan atas  nama penyidik.
1.      Bentuk dan tatcara penyitaan
a.       Penyitaan biasa dan tata caranya
Ø  Harus ada surat izin penyitaan dari ketua pengadilan negeri (pasal 38 [1])
Ø  Memperlihatkan dan menunjukan tanda pengenal (pasal 128)
Ø  Memperlihatkan benda yang akan disita (pasal 129)
Ø  Penyitaan dan memperlihatkan benda sitaan harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi (pasal 129 [1])
Ø  Membuat berita acara penyitaan (pasal 129 [2])
Ø  Menyampaikan turunan berita acara penyitaan kepada atasannya dan kepada keluarga pihak dimana barang itu disita serta kepada kepala desa. (pasal 129 [4])
Ø  Membungkus benda sitaan (pasal 130 [1]), seandainya barang sitaan tidak memungkinkan untuk dibungkus, maka harus dibuat catatan atau data tentang barang sitaan, kemudian catatan itu ditulis di atas label yang ditempelkan dan dikaikan pada barang sitaan. (pasal 130 [2])
b.      Penyitaan dalam keadaan perlu dan mendesak
Sebagai pengecualian penyitaan biasa berdasarkan aturan di atas, pasal 38 [2] memberi kemungkinan melakukan penyitaan tanpa melalui tata cara yang ditentukan oleh pasal 38 [1]. Hal ini diperlukan untuk memberi kelonggaran kepada penyidik bertindak cepat sesuai dengan keadaan yang diperlukan. Dan mengenai  tata cara penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak adalah:
Ø  Tanpa surat izin dari pengadilan negeri
Ø  Hanya terbatas atas benda yang bergerak saja
Ø  Wajib segera melaporkan guna mendapat persetujuan.
2.      Benda yang dapat disita
Benda yang dapat disita hanyalah benda yang berkaitan dengan peristiwa tindak pidana, jika benda yang disita tidak ada kaitannya dengan peristiwa tindak pidana yang sedang diperiksa, dianggap merupakan penyitaan yang bertentangan dengan hukum. Lebih jelasnya mengenai benda yang dapat disita dijelsakan dalam pasal 39.
3.      Penyimpanan barang sitaan
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 44, benda sitaan disimpan dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (RUPBASAN). Rupbasan adalan satu-satunya tempat penyimpanan segala macam jenis benda sitaan. Secara struktural dan fungsional, berada dibawah lingkungan Kementerian kehakiman yang akan menjadi pusat penyimpanan barang sitaan dari seluruh instansi.
4.      Penjualan lelang barang sitaan
Yang dimaksud dengan penjualan lelang disini tidak sama dengan penjualan lelang ditaraf eksekusi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, namun hal ini apabila pejabat yang bersagkutan dihadapkan pada suatu keadaan yang extra ordinary, maka dalam ruang lingkup ini pasal 45 memberi kemungkinan kepada pejabat yang bersangkutan untuk menjual benda sitaan, namun dengan syarat:
Ø  Apabila benda sitaan terdiri dari benda yang mudah rusak atau busuk;
Ø  Apabila benda sitaan tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum yang tetap;
Ø  Jika biaya penyimpanan benda menjadi terlalu tinggi.
Kemudian hasil dari penjualan lelang benda tersebut kembali diletakan atau disimpan di Rupbasan.
5.      Pengembalian barang sitaan
Kecuali mengenai benda yang sifatnya terlarang atau dilarang mengedarkan, pada prinsipnya benda sitaan harus dikembalikan kepada orang dari siapa benda itu disita atau kepada siapa yang paling berhak. Bertitik tolak dari pasal 46, pengembalian benda sitaan harus dikembalikan sesegera mungkin kepada yang palingh berhak:
Ø  Apabila secara nyata dan objektif pemeriksaan penyidikan tidak memerlukan lagi;
Ø  Atau apabila perkara tersebut tidak dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tinda pidana;
Ø  Perkara tersebut dikesampingkan/dideponer untuk kepentingan umum;

Ø  Atau perkara tersebut ditutup demi hukum, karena alasan debin in idem atau tersangka/terdakwa meninggal dunia atau karena tuntutan terhadap terhadap tindak pidana sudah kadaluarsa.

E.     Tertanglap Tangan
Dalam hal tersangka tertangkap tangan, sesuai Pasal 1 angka 19 (“KUHAP”) yang berbunyi :“Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”.


Keistimewaan Tertangkap Tangan
Dalam hal penangkapan keistimewaan tertangkap tangan dapat kita temukan dalam pasal 18 (2), yang menyatakan bahwa, “dalam hat tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkapanharus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.”
Selanjutkan dalam ayat 3 “Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.”
Selanjutnya dalam hal pengeledahan keistimewaan tertangkap tangan dapat kita temukan dalam pasal 35, namun sebelum melihat ke pasal 35 kita harus melihat ke pasal 34 terlibih dahulu, sebagaimana yang telah di uraikan terdahula, bahwa dalam keadaan mendesak kalau penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlbih dahulu, penyidik dapat malkukan mngeledahan:
1.      Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya
2.      Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada
3.      Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya
4.      Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
Dan selanjutnya dalam pasal 35 mengatakan “ kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki:
a.       Ruang di mana sedang berlangsung didang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan perwakilan atau Dewan Perwakilan Daerah;
b.      Tempat di mana sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan;
c.       Ruang dimana sedang berlansung sidang pengadilan.”
Selanjutnya dalam hal penyitaan keistimewaan tertangkap tangan dapat kita temukan dalam pasal 40 “dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti”
dan pasal 41 “dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dlakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukan bagi tersangka atau yang berasal dari padnya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerima”

KESIMPULAN
Setelah dilakuka penyelidikan dan mengetahui adanya unsur tindak pidana, maka tuga selanjutnya diserahkan kepada penyidik untuk mengumpulkan barang bukti dan melakukan pemeriksaan.
Untuk membantu kelancaran pemeriksaan tersebut, maka penyidik diberi kewenangan untuk malakukan penangkapan, penahanan, pengeledahan termasuk menyita barang atau benda yang berkaitan dengan tindak pidana yang diperiksa. Untuk itu UU no. 8 tahun 1981 atau yang lebih dikenal dengan singkatan KUHAP, mengatur mengenai tata cara dan prosedur yang harus diikuti oleh penyidik dalam melaksanakan tugasnya. Namun dalam beberapa hal KUHAP memberi beberapa keistimewaan kepada kasus tertangkap tangan, sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas.


[1] KUHP dan KUHAP, (Surabaya, Kesindo Utama:2010), cet ke-5, h.189
[2] Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penjelasan KUHAP, (Jakarta, Sianr Grafika: 2007), cet ke-9, edisi k-2, h.157
[3]C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, balai pustaka: 1989) cet ke-8, h.358-359
[4] Yahya Harahap, op-cit, h. 161

Sekilas Tentang SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan)

sering kita dengar bahwa surat penghentian penyidikan ketika perkara berada pada kepolisian, bahwa Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) merupakan surat yang dikeluarkan oleh penyidik Polri ataupun penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berupa penghentian proses penyidikan terhadap suatu perkara yang ditanganinya. dapat dilihat pada pasal 109 ayat (2) KUHAP

seorang penyidik polri atau PPNS dalam hal mengeluarkan Surat Perintah penghentian Penyidikan  tentu memiliki alasan yang didasarkan pada pemenuhan keadilan serta untuk menjaga citra hukum, karena mengingat bahwa aturan tersebut bersifat mengatur dan memaksa. alasan dilakukannya SP3 adalah:
1) Perbuatan tersebut tidak cukup bukti
2) Perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana
3)penyidikan dihentikan demi hukum, apabila:
   a. terdakwa meninggal dunia (Ps.77 KUHP)
   b. perkaranya ne bis in idem (Ps. 76 KUHP)untuk perkara nebis in idem dapat dilihat di http://hukumindonesia29.blogspot.com/2015/05/asas-nebis-in-idem-asas-nebis-in-idem.html
   c. perkaranya kedaluarsa/verjaring (Ps. 78 KUHP)
   d. Pencabutan perkara yang sifatnya delik aduan (Ps. 75 dan Ps.284 ayat (4)KUHP)

Surat Perintah Penghentian Penyidikan yang dikeluarkan oleh penyidik polri harus diberitahukan kepada kejaksaan, keluarga tersangka dan tersangka, serta pihak terlapor. Apabila SP3 dikeluarkan oleh PPNS maka harus memberitakukan kepada penyidik polri atas SP3 yang dikeluarkannya

Tentang Penangguhan Penahanan

Penangguhan penahanan adalah penangguhan tahanan tersangka/terdakwa dari penahanan, tetapi penahanan masih sah dan resmi berlaku. Namun pelaksanaan penahanan dihentikan dengan jalan mengeluarkan tersangka/terdakwa dari tahanan setelah instansi yang menahan menetapkan syarat-syarat penangguhan yang harus dipenuhi oleh tersangka/terdakwa yang ditahan atau orang lain yang bertindak untuk menjamin penangguhan. Masa penangguhan penahanan tidak termasuk status masa penahanan
Syarat yang ditentukan oleh undang-undang adalah:
1.wajib lapor
2.tidak keluar rumah
3.tidak keluar kota
Penangguhan penahanan dapat terjadi apabila ada:1.permintaan dari tersangka/terdakwa
2.permintaan disetujui oleh instansi yang menahan dengan syarat dan jaminan yang ditetapkan
3.ada persetujuan dari tersangka/terdakwa yang ditahan untuk mematuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan
Jaminan penangguhan penahanan bisa berupa1.Jaminan Uang yang ditetapkan secara jelas dan disebutkan dalam surat perjanjian penangguhan penahanan. Uang jaminan tersebut disimpan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang penyetorannya dilakukan oleh tersangka/terdakwa atau keluarganya atau kuasa hukumnya berdasarkan formulir penyetoran yang dikeluarkan oleh instansi yang menahan. Bukti setoran tersebut dibuat dalam rangkap tiga dan berdasarkan bukti setoran tersebut maka instansi yang menahan mengeluarkan surat perintah atau surat penetapan penangguhan penahanan
2.Jaminan orang, maka si penjamin harus membuat pernyataan dan kepastian kepada instansi yang menahan bahwa penjamin bersedia bertanggung jawab apabila tersangka/terdakwa yang ditahan melarikan diri. Untuk itu harus ada surat perjanjian penangguhan penahanan pada jaminan yang berupa orang yang berisikan identitas orang yang menjamin dan instansi yang menahan menetapkan besarnya jumlah uang yang harus ditanggung oleh penjamin (uang tanggungan)
Penyetoran uang tanggungan baru bisa dilaksanakan apabilaa.tersangka/terdakwa melarikan dirib.setelah tiga bulan tidak diketemukan
c.penyetoran uang tanggungan ke kasn negara dilakukan oleh orang yang menjamin melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri
d.pengeluaran surat perintah penangguhan didasarkan atas jaminan dari si penjamin

Asas Nebis in Idem,


asas Nebis in Idem yang berarti bahwa seseorang tidak dapat dituntut pada perkara yang sama, hal ini  dijelaskan dalam pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) "KECUALI DALAM HAL PUTUAN HAKIM MASIH BOLEH DIUBAH LAGI, ORANG TIDAK BOLEH DITUNTUT DUA KALI KARENA PERBUATAN YANG OLEH HAKIM INDONESIA TERHADAP DIRINYA TELAH DIADILI DENGAN PUTUSAN YANG MENJADI TETAP." Dalam pengertian hakim indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat ditempat-tempat  yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut. apabila telah adanya putusan hakim dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap maka terpidana tersebut tidak dapat dipidana pada perkara yang sama, dengan syarat bahwa tempat terjadinya tindak pidana yang sama (locus delicti), waktu terjadinya tindak pidana (tempus delicti) tentunya pihak yang sama juga. 


Terkait dengan pengujian undang-undang, dapat juga kita temui dalamPasal 60 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 yaitu Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diterapkan pula asas ne bis in idem yaitu terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.


Pelaksanaan asas ne bis in idem ini ditegaskan pula dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang Berkaitan dengan Asas Nebis In Idem. Dalam surat edaran tersebut Ketua Mahkamah Agung pada waktu itu, Bagir Manan, mengimbau para ketua pengadilan untuk dapat melaksanakan asas ne bis in idemdengan baik demi kepastian bagi pencari keadilan dengan menghindari adanya putusan yang berbeda.

Jadi, suatu gugatan dapat dinyatakan ne bis in idem dalam hal telah ada putusan berkekuatan hukum tetap sebelumnya yang memutus perkara yang sama, dengan pihak yang sama, pada waktu dan tempat kejadian yang sama (tempus dan locus delicti-nya sama) dan putusan tersebut telah memberikan putusan bebas (vrijspraak), lepas (onstlag van alle rechtsvolging) atau pemidanaan (veroordeling) terhadap orang yang dituntut itu. Simak pula artikel kami sebelumnya mengenai Penerapan Ne Bis In Idem.


Daya Paksa menurut KUHP,


Daya paksa atau overmacht dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”) terdapat dalam Pasal 48 KUHP yang berbunyi:
“Orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana.”
Untuk mengetahui batasan ruang lingkup berlakunya overmachtR. Sugandhi, S.H. dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya mengatakan bahwa kalimat “karena pengaruh daya paksa” harus diartikan, baik pengaruh daya paksaan batin, maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Daya paksa yang tidak dapat dilawan adalah kekuatan yang lebih besar, yakni kekuasaan yang pada umumnya tidak mungkin dapat ditentang. Mengenai kekuasaan ini dapat dibedakan dalam 3 macam seperti di bawah ini:
1.      yang bersifat mutlak
R. Sugandhi, S.H.menjelaskan, dalam hal ini, orang itu tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat ia elakkan. Misalnya, seseorang dipegang oleh seseorang lainnya yang lebih kuat, kemudian dilemparkannya ke jendela kaca sehingga kacanya pecah dan mengakibatkan kejahatan merusak barang orang lain. Dalam peristiwa semacam ini dengan mudah dapat dimengerti bahwa orang yang tenaganya lemah itu tidak dapat dihukum karena segala sesuatunya yang melakukan ialah orang yang lebih kuat. Orang inilah yang berbuat dan dialah pula yang harus dihukum (hal. 54-55).
Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana(hal. 152-153), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa daya paksa absolut (vis absoluta) sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya, karena di sini pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Jadi ia tidak punya pilihan lain sama sekali. Misalnya seseorang yang diangkat oleh orang pegulat yang kuat lalu dilemparkan ke orang lain sehingga orang lain itu tertindas dan cedera. Orang yang dilemparkan itu sendiri sebenarnya menjadi korban juga sehingga sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan menindas orang lain.
Lebih lanjut, Andi Hamzah menjelaskan bahwa orang yang dilemparkan ini tidak dapat berbuat lain. Daya paksa absolut ini bersifat fisik, tetapi dapat juga bersifat psikis, misalnya orang yang dihipnotis sehingga melakukan delik. Di sini orang tersebut tidak dapat berbuat lain. Selain daya paksa tersebut datang dari orang lain, daya paksa dapat juga datang dari alam, misalnya pilot yang pesawatnya terhempas ke landasan karena gempa sehingga menimpa pesawat lain yang menimbulkan korban di pesawat lain itu.
2.      yang bersifat relatif
R. Sugandhi, S.H.(Ibid, hal. 55) menjelaskan, dalam hal ini, kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak penuh.Orang yang dipaksa itu masih punya kesempatan untuk memilih mana yang akan dilakukan. Misalnya A ditodong dengan pistol oleh B, disuruh membakar rumah. Apabila A tidak segera membakar rumah itu, maka pistol yang ditodongkan kepadanya tersebut akan ditembakkan. Dalam pikiran, memang mungkin A menolak perintah itu sehingga ia ditembak mati. Akan tetapi apabila ia menuruti perintah itu, ia akan melakukan tindak pidana kejahatan. Walaupun demikian, ia tidak dapat dihukum karena adanya paksaan tersebut. Perbedaan kekuasaan bersifat mutlak dan kekuasaan bersifat relatif ialah bahwa pada yang mutlak, dalam segala sesuatunya orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat semaunya, sedang pada yang relatif, orang yang dipaksa itulah yang melakukan karena dalam paksaan kekuatan.
R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 63) mengatakan bahwa paksaan itu harus ditinjau dari banyak sudut, misalnya apakah yang dipaksa itu lebih lemah daripada orang yang memaksa, apakah tidak ada jalan lain, apakah paksaan itu betul-betul seimbang apabila dituruti dan sebagainya. Hakimlah yang harus menguji dan memutuskan hal ini.
3.      yang merupakan suatu keadaan darurat
R. Sugandhi, S.H.(Ibid, hal. 55) menjelaskan bedanya dengan kekuasaan yang bersifat relatif ialah bahwa pada keadaan darurai ini orang yang terpaksa itu sendirilah yang memilih peristiwa pidana mana yang akan ia lakukan., sedang pada kekuasaan yang bersifat relatif, orang itu tidak memilih. Dalam hal ini (kekuasaan yang bersifat relatif - red) orang yang mengambil prakarsa ialah orang yang memaksa.
R. Sugandhi, S.H.(Ibid, hal. 56) memberikan contoh keadaan darurat, misalnya:
a.      Dalam sebuah pelayaran dengan kapal laut telah terjadi kecelakaan. Kapal itu meledak dengan mendadak, sehingga penumpangnya masing-masing harus menolong dirinya sendiri. Seorang penumpang beruntung dapat mengapung dengan sebuah papan kayu yang hanya dapat menampung seorang saja. Kemudian datang penumpang lain yang juga ingin menyelamatkan dirinya. Padanya tiada sebuah alat pun yang dapat dipakai untuk menyelamatkan diri. Ia lalu meraih papan kayu yang telah dipakai untuk mengapung oleh orang yang terdahulu dari dia. Orang yang terdahulu itu lalu mendorong orang tersebut hingga tenggelam dan mati. Karena dalam keadaan darurat, maka orang itu tidak dapat dihukum.
b.      Untuk menolong seorang yang tersekap dalam rumah yang sedang terbakar, seorang anggota pasukan pencegah kebakaran telah memecah sebuah jendela kaca yang berharga dari rumah yang terbakar itu untuk jalan masuk. Meskipun anggota pasukan pencegah kebakaran itu telah melakukan kejahatan merusak barang orang lain, ia tidak dapat dihukum karena dalam keadaan darurat.
B.     Tentang Pembelaan Terpaksa atau Pembelaan Darurat (Noodweer)
Pembelaan Terpaksa (noodweer) dalam KUHP dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu noodweer (pembelaan terpaksa) dan noodweer-exces (pembelaan darurat yang melampaui batas) terdapat dalam Pasal 49 KUHP yang berbunyi:
(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Untuk mengetahui batasan ruang lingkup berlakunya pasal ini, maka kita berpedoman pada unsur-unsur noodweer dan noodweer-exces menurut Andi Hamzah, dan syarat-syarat suatu tindakan dikategorikan sebagai noodweermenurut R. Sugandhi, S.H..
Menurut Andi Hamzah (Ibid, hal. 158), unsur-unsur suatu pembelaan terpaksa (noodweer) adalah:
1.      Pembelaan itu bersifat terpaksa.
2.      Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain.
3.      Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu.
4.      Serangan itu melawan hukum
Lebih lanjut, Andi Hamzah (Ibid, hal. 158-159), sebagaimana kami sarikan, menjelaskan bahwa pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Serangan tidak boleh melampaui batas keperluan dan keharusan. Asas ini disebut sebagai asas subsidiaritas (subsidiariteit). Harus seimbang antara kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai di satu pihak dan kepentingan yang dikorbankan. Jadi, harus proporsional. Menurut Pompe, jika ancaman dengan pistol, dengan menembak tangannya sudah cukup maka jangan ditembak mati. Pembelaan terpaksa juga terbatas hanya pada tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda. Tubuh meliputi jiwa, melukai dan kebebasan bergerak badan. Kehormatan kesusilaan meliputi perasaan malu seksual.
Terkait pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), menurut Andi Hamzah (Ibid, hal. 159-160), ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum, yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain. Perbedaannya ialah:
1.      pada pembelaan terpaksa yang melampau batas (noodweer exces), pembuat melampaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat. Oleh karena itu maka perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap melawan hukum, hanya orangnya tidak dipidana karena guncangan jiwa yang hebat.  Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf.
2.   pembelaan terpaksa (noodweer) merupakan dasar pembenar, karena melawan hukumnya tidak ada.
R. Sugandhi, S.H., terkait Pasal 49 KUHP, mengatakan bahwa agar tindakan ini benar-benar dapat digolongkan sebagai “pembelaan darurat” dan tidak dapat dihukum, maka tindakan itu harus memenuhi tiga macam syarat sebagai berikut:
1.      Tindakan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa untuk mempertahankan (membela) diri. Pertahanan atau pembelaan itu harus demikian perlu sehingga boleh dikatakan tidak ada jalan lain yang lebih baik
2.      Pembelaan atau pertahanan yang harus dilakukan itu hanya terhadap kepentingan-kepentingan diri sendiri atau orang lain, peri kesopanan, dan harta benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain
3.      Harus ada serangan yang melawan hak dan ancaman yang mendadak (pada saat itu juga). Untuk dapat diatakan “melawan hak”, penyerang yang melakukan serangan itu harus melawan hak orang lain atau tidak mempunyai hak untuk itu, misalnya seorang pencuri yang akan mengambil barang orang lain, atau pencuri yang ketahuan ketika mengambil barang orang lain kemudian menyerang pemilik barang itu dengan senjata tajam. Dalam keadaan seperti ini, kita boleh melawan untuk mempertahankan diri dan barang yang dicuri itu sebab si pencuri telah menyerang dengan melawan hak
Sedangkan mengenai noodweer exces, R. Sugandhi, S.H. (Ibid, hal. 59), menjelaskan bahwa seperti halnya dengan pembelaan darurat, di sini pun harus ada serangan yang mendadak atau mengancam pada ketika itu juga. Untuk dapat dikategorikan “melampaui batas pembelaan yang perlu” diumpamakan di sini, seseorang membela dengan menembakkan pistol, sedang sebenarnya pembelaan itu cukup dengan memukulkan kayu. Pelampauan batas ini diperkenankan oleh undang-undang, asal saja disebabkan oleh guncangan perasaan yang hebat yang timbul karena serangan itu; guncangan perasaan yang hebat misalnya perasaan marah sekali yang biasa dikatakan “mata gelap”.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 87) mengatakan bahwa pada akhirnya, setiap kejadian apakah itu merupakan lingkup noodweer, perlu ditinjau satu persatu dengan memperhatikan semua hal di sekitar peristiwa-peristiwa itu. Rasa keadilanlah yang harus menentukan sampai dimanakah ada keperluan membela diri (noodweer) yang menghalalkan perbuatan-perbuatan yang bersangkutan terhadap seorang penyerang.
Dari uraian mengenai overmacht dan noodweer yang telah saya jelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa overmacht itu berasal dari pengaruh luar (baik dari orang lain maupun keadaan yang memaksa seseorang di luar kemampuannya untuk melakukan tindak pidana), sedangkan noodweer lebih menekankan pada pembelaan atau pertahanan diri yang dilakukan oleh seseorang bersamaan ketika ada ancaman yang datang kepadanya. Keberlakuan overmacht maupun noodweer keduanya diserahkan kepada hakim. Hakimlah yang menguji dan memutuskan apakah suatu perbuatan termasuk lingkup overmacht atau noodweer dengan ditinjau berdasarkan pada satu-persatu peristiwa sebagaimana yang telah kami jelaskan.

Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van StarfrechtStaatsbladNomor 732 Tahun 1915
Referensi:
1.      Andi Hamzah. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. PT Rineka Cipta: Jakarta.
2.      Wirjono Prodjodikoro. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. PR. Refika Aditama: Bandung.
3.      R. Sugandhi. 1980. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya. Usaha Nasional: Surabaya.
4.      R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.