Sabtu, 23 Mei 2015

Daya Paksa menurut KUHP,


Daya paksa atau overmacht dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”) terdapat dalam Pasal 48 KUHP yang berbunyi:
“Orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana.”
Untuk mengetahui batasan ruang lingkup berlakunya overmachtR. Sugandhi, S.H. dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya mengatakan bahwa kalimat “karena pengaruh daya paksa” harus diartikan, baik pengaruh daya paksaan batin, maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Daya paksa yang tidak dapat dilawan adalah kekuatan yang lebih besar, yakni kekuasaan yang pada umumnya tidak mungkin dapat ditentang. Mengenai kekuasaan ini dapat dibedakan dalam 3 macam seperti di bawah ini:
1.      yang bersifat mutlak
R. Sugandhi, S.H.menjelaskan, dalam hal ini, orang itu tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat ia elakkan. Misalnya, seseorang dipegang oleh seseorang lainnya yang lebih kuat, kemudian dilemparkannya ke jendela kaca sehingga kacanya pecah dan mengakibatkan kejahatan merusak barang orang lain. Dalam peristiwa semacam ini dengan mudah dapat dimengerti bahwa orang yang tenaganya lemah itu tidak dapat dihukum karena segala sesuatunya yang melakukan ialah orang yang lebih kuat. Orang inilah yang berbuat dan dialah pula yang harus dihukum (hal. 54-55).
Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana(hal. 152-153), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa daya paksa absolut (vis absoluta) sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya, karena di sini pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Jadi ia tidak punya pilihan lain sama sekali. Misalnya seseorang yang diangkat oleh orang pegulat yang kuat lalu dilemparkan ke orang lain sehingga orang lain itu tertindas dan cedera. Orang yang dilemparkan itu sendiri sebenarnya menjadi korban juga sehingga sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan menindas orang lain.
Lebih lanjut, Andi Hamzah menjelaskan bahwa orang yang dilemparkan ini tidak dapat berbuat lain. Daya paksa absolut ini bersifat fisik, tetapi dapat juga bersifat psikis, misalnya orang yang dihipnotis sehingga melakukan delik. Di sini orang tersebut tidak dapat berbuat lain. Selain daya paksa tersebut datang dari orang lain, daya paksa dapat juga datang dari alam, misalnya pilot yang pesawatnya terhempas ke landasan karena gempa sehingga menimpa pesawat lain yang menimbulkan korban di pesawat lain itu.
2.      yang bersifat relatif
R. Sugandhi, S.H.(Ibid, hal. 55) menjelaskan, dalam hal ini, kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak penuh.Orang yang dipaksa itu masih punya kesempatan untuk memilih mana yang akan dilakukan. Misalnya A ditodong dengan pistol oleh B, disuruh membakar rumah. Apabila A tidak segera membakar rumah itu, maka pistol yang ditodongkan kepadanya tersebut akan ditembakkan. Dalam pikiran, memang mungkin A menolak perintah itu sehingga ia ditembak mati. Akan tetapi apabila ia menuruti perintah itu, ia akan melakukan tindak pidana kejahatan. Walaupun demikian, ia tidak dapat dihukum karena adanya paksaan tersebut. Perbedaan kekuasaan bersifat mutlak dan kekuasaan bersifat relatif ialah bahwa pada yang mutlak, dalam segala sesuatunya orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat semaunya, sedang pada yang relatif, orang yang dipaksa itulah yang melakukan karena dalam paksaan kekuatan.
R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 63) mengatakan bahwa paksaan itu harus ditinjau dari banyak sudut, misalnya apakah yang dipaksa itu lebih lemah daripada orang yang memaksa, apakah tidak ada jalan lain, apakah paksaan itu betul-betul seimbang apabila dituruti dan sebagainya. Hakimlah yang harus menguji dan memutuskan hal ini.
3.      yang merupakan suatu keadaan darurat
R. Sugandhi, S.H.(Ibid, hal. 55) menjelaskan bedanya dengan kekuasaan yang bersifat relatif ialah bahwa pada keadaan darurai ini orang yang terpaksa itu sendirilah yang memilih peristiwa pidana mana yang akan ia lakukan., sedang pada kekuasaan yang bersifat relatif, orang itu tidak memilih. Dalam hal ini (kekuasaan yang bersifat relatif - red) orang yang mengambil prakarsa ialah orang yang memaksa.
R. Sugandhi, S.H.(Ibid, hal. 56) memberikan contoh keadaan darurat, misalnya:
a.      Dalam sebuah pelayaran dengan kapal laut telah terjadi kecelakaan. Kapal itu meledak dengan mendadak, sehingga penumpangnya masing-masing harus menolong dirinya sendiri. Seorang penumpang beruntung dapat mengapung dengan sebuah papan kayu yang hanya dapat menampung seorang saja. Kemudian datang penumpang lain yang juga ingin menyelamatkan dirinya. Padanya tiada sebuah alat pun yang dapat dipakai untuk menyelamatkan diri. Ia lalu meraih papan kayu yang telah dipakai untuk mengapung oleh orang yang terdahulu dari dia. Orang yang terdahulu itu lalu mendorong orang tersebut hingga tenggelam dan mati. Karena dalam keadaan darurat, maka orang itu tidak dapat dihukum.
b.      Untuk menolong seorang yang tersekap dalam rumah yang sedang terbakar, seorang anggota pasukan pencegah kebakaran telah memecah sebuah jendela kaca yang berharga dari rumah yang terbakar itu untuk jalan masuk. Meskipun anggota pasukan pencegah kebakaran itu telah melakukan kejahatan merusak barang orang lain, ia tidak dapat dihukum karena dalam keadaan darurat.
B.     Tentang Pembelaan Terpaksa atau Pembelaan Darurat (Noodweer)
Pembelaan Terpaksa (noodweer) dalam KUHP dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu noodweer (pembelaan terpaksa) dan noodweer-exces (pembelaan darurat yang melampaui batas) terdapat dalam Pasal 49 KUHP yang berbunyi:
(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Untuk mengetahui batasan ruang lingkup berlakunya pasal ini, maka kita berpedoman pada unsur-unsur noodweer dan noodweer-exces menurut Andi Hamzah, dan syarat-syarat suatu tindakan dikategorikan sebagai noodweermenurut R. Sugandhi, S.H..
Menurut Andi Hamzah (Ibid, hal. 158), unsur-unsur suatu pembelaan terpaksa (noodweer) adalah:
1.      Pembelaan itu bersifat terpaksa.
2.      Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain.
3.      Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu.
4.      Serangan itu melawan hukum
Lebih lanjut, Andi Hamzah (Ibid, hal. 158-159), sebagaimana kami sarikan, menjelaskan bahwa pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Serangan tidak boleh melampaui batas keperluan dan keharusan. Asas ini disebut sebagai asas subsidiaritas (subsidiariteit). Harus seimbang antara kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai di satu pihak dan kepentingan yang dikorbankan. Jadi, harus proporsional. Menurut Pompe, jika ancaman dengan pistol, dengan menembak tangannya sudah cukup maka jangan ditembak mati. Pembelaan terpaksa juga terbatas hanya pada tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda. Tubuh meliputi jiwa, melukai dan kebebasan bergerak badan. Kehormatan kesusilaan meliputi perasaan malu seksual.
Terkait pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), menurut Andi Hamzah (Ibid, hal. 159-160), ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum, yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain. Perbedaannya ialah:
1.      pada pembelaan terpaksa yang melampau batas (noodweer exces), pembuat melampaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat. Oleh karena itu maka perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap melawan hukum, hanya orangnya tidak dipidana karena guncangan jiwa yang hebat.  Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf.
2.   pembelaan terpaksa (noodweer) merupakan dasar pembenar, karena melawan hukumnya tidak ada.
R. Sugandhi, S.H., terkait Pasal 49 KUHP, mengatakan bahwa agar tindakan ini benar-benar dapat digolongkan sebagai “pembelaan darurat” dan tidak dapat dihukum, maka tindakan itu harus memenuhi tiga macam syarat sebagai berikut:
1.      Tindakan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa untuk mempertahankan (membela) diri. Pertahanan atau pembelaan itu harus demikian perlu sehingga boleh dikatakan tidak ada jalan lain yang lebih baik
2.      Pembelaan atau pertahanan yang harus dilakukan itu hanya terhadap kepentingan-kepentingan diri sendiri atau orang lain, peri kesopanan, dan harta benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain
3.      Harus ada serangan yang melawan hak dan ancaman yang mendadak (pada saat itu juga). Untuk dapat diatakan “melawan hak”, penyerang yang melakukan serangan itu harus melawan hak orang lain atau tidak mempunyai hak untuk itu, misalnya seorang pencuri yang akan mengambil barang orang lain, atau pencuri yang ketahuan ketika mengambil barang orang lain kemudian menyerang pemilik barang itu dengan senjata tajam. Dalam keadaan seperti ini, kita boleh melawan untuk mempertahankan diri dan barang yang dicuri itu sebab si pencuri telah menyerang dengan melawan hak
Sedangkan mengenai noodweer exces, R. Sugandhi, S.H. (Ibid, hal. 59), menjelaskan bahwa seperti halnya dengan pembelaan darurat, di sini pun harus ada serangan yang mendadak atau mengancam pada ketika itu juga. Untuk dapat dikategorikan “melampaui batas pembelaan yang perlu” diumpamakan di sini, seseorang membela dengan menembakkan pistol, sedang sebenarnya pembelaan itu cukup dengan memukulkan kayu. Pelampauan batas ini diperkenankan oleh undang-undang, asal saja disebabkan oleh guncangan perasaan yang hebat yang timbul karena serangan itu; guncangan perasaan yang hebat misalnya perasaan marah sekali yang biasa dikatakan “mata gelap”.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 87) mengatakan bahwa pada akhirnya, setiap kejadian apakah itu merupakan lingkup noodweer, perlu ditinjau satu persatu dengan memperhatikan semua hal di sekitar peristiwa-peristiwa itu. Rasa keadilanlah yang harus menentukan sampai dimanakah ada keperluan membela diri (noodweer) yang menghalalkan perbuatan-perbuatan yang bersangkutan terhadap seorang penyerang.
Dari uraian mengenai overmacht dan noodweer yang telah saya jelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa overmacht itu berasal dari pengaruh luar (baik dari orang lain maupun keadaan yang memaksa seseorang di luar kemampuannya untuk melakukan tindak pidana), sedangkan noodweer lebih menekankan pada pembelaan atau pertahanan diri yang dilakukan oleh seseorang bersamaan ketika ada ancaman yang datang kepadanya. Keberlakuan overmacht maupun noodweer keduanya diserahkan kepada hakim. Hakimlah yang menguji dan memutuskan apakah suatu perbuatan termasuk lingkup overmacht atau noodweer dengan ditinjau berdasarkan pada satu-persatu peristiwa sebagaimana yang telah kami jelaskan.

Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van StarfrechtStaatsbladNomor 732 Tahun 1915
Referensi:
1.      Andi Hamzah. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. PT Rineka Cipta: Jakarta.
2.      Wirjono Prodjodikoro. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. PR. Refika Aditama: Bandung.
3.      R. Sugandhi. 1980. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya. Usaha Nasional: Surabaya.
4.      R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar